Suriah adalah negara muslim yang sedang dijajah oleh rezim Assad.Konflik dan perang di Suriah diperkirakan belum akan berakhir dalam
waktu dekat. Baik untuk kemenangan rezim Asad ataupun kemenangan pejuang
revolusi.
Menginjak tahun keempat konflik di
Suriah, beberapa pejabat pro rezim Asad, mulai dari pimpinan militer
Iran, Hasan Nasrullah di Libanon, hingga Basyar Asad di Suriah,
menyatakan bahwa kondisi perang saat ini lebih condong dimenangkan oleh
pihak rezim Asad. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, pernyataan kubu
rezim Asad ini mendapatkan perhatian cukup serius dari kalangan pemimpin
negara-negara Arab.
Hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa konflik
berdarah yang telah menelan ratusan ribu korban meninggal ini tidak
lain disebabkan oleh sikap rezim Asad sendiri. Tiga tahun lalu, rakyat
turun ke jalan-jalan menuntut perubahan dan reformasi politik. Saat itu,
bukannya menuruti keinginan rakyat dengan memberikan ruang kebebasan
dan demokrasi, pemerintah berkuasa malah memperlakukan demonstran dengan
kekerasan. Hingga beberapa bulan kemudian, konflik damai itu pun
berubah menjadi konflik bersenjata, walaupun banyak tokoh reformis
selalu mengingatkan untuk mempertahankan sifat damai dalam perjuangan
mereka.
Tak lama kemudian kondisi pun berkembang, front konflik
bersenjata tidak hanya melibatkan warga Suriah, tapi kalangan luar
negeri pun melibatkan diri. Kalangan muda dari berbagai negara Arab
berdatangan ke Suriah. Mereka melihat bahwa yang terjadi di Suriah
adalah pertempuran etnis. Mereka merasa berkewajiban untuk membela warga
seakidah mereka melakukan perlawanan terhadap minoritas Syiah Alawiyah
yang berkuasa di Suriah dan membantai Sunnah. Semakin berkepanjangan,
para mujahid profesional yang selama dua dekade berperang dengan
berpindah-pindah antara Kaukasus, Afghanistan, Tanduk Afrika, Yaman dan
Irak, kini mereka juga bergabung di Suriah.
Di waktu yang sama,
rezim Asad semakin memantapkan bahwa yang mereka jalankan adalah
peperangan etnis, dengan mengganti semua pimpinan militer kepada para
perwira dari kalangan Syiah Alawiyah. Militer pemerintah juga tidak
sendirian menghadapi pejuang revolusi, mereka dibantu milisi-milisi
Syiah Alawiyah, Hizbullah dari Libanon, dan kalangan sukarelawan Syiah
dari berbagai negara Arab.
Semua ini tidak akan terjadi tanpa
pengaruh dari politik beberapa negara. Misalnya Iran yang melihat sisi
penting dan strategis keberadaan Syiah Alawiyah dalam kekuasaan. Selain
itu, Rusia menganggap bahwa Suriah bisa menjadi bukti eksistensi
pengaruh Rusia dalam politik dunia. Sementara itu, opini publik Arab dan
Islam mendorong negara-negara seperti Turki, Saudi Arabia dan Qatar
untuk menyatakan bahwa sikap mereka adalah mendukung rakyat Suriah untuk
menjatuhkan rezim Asad yang telah membantai rakyatnya sendiri.
Konflik
Suriah kini telah berubah layaknya perang saudara. Sunnah lebih dominan
dalam kelompok rakyat yang berjuang dan dibantai; sementara Syiah
dominan dalam rezim yang ingin mempertahankan kekuasaannya dengan segala
cara. Konflik yang diwarnai dengan pembantaian rakyat tanpa ampun, kini
tidak hanya menjadi konflik nasional. Tapi konflik yang mempunya banyak
dimensi; Suriah-Suriah; Sunnah-Syiah; dan Arab, Persia, Turki-Israel,
Rusia, Barat. Kini sebagian besar kota Suriah sudah menjadi kota hantu,
hancur tak berbentuk, ratusan ribu meninggal, dan jutaan rakyat
mengungsi.
Perkembangan saat ini, walaupun militer rezim Asad
mendapatkan kemenangan di beberapa wilayah, khususnya di Qalamun, namun
rezim Asad mempunyai problem kurangnya personil pasukan. Seakan pos-pos
Syiah sudah mulai habis dimobilisir. Oleh karena itu, kita lihat mereka
lebih banyak melakukan serangan udara dengan menjatuhkan barel mautnya.
Adapun
perkembangan politik dunia yang mungkin berpengaruh pada konflik di
Suriah, misalnya adalah Rusia yang telah kehilangan Ukraina pasca
jatuhnya Viktor Yanukovych pro-Rusia, tentu tidak akan mau kehilangan
koalisinya yang lain. Turki yang terang-terangan mendukung pejuang
revolusi tidak berubah peta politiknya pasca pemilu lokal yang
mempertahankan AK-Parti tetap berkuasa. Kondisi Saudi, Qatar, dan negara
lain tak beda dengan Turki. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa
konflik berdarah ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar